HUKUM PERIKATAN, HUKUM PERJANJIAN, DAN HUKUM DAGANG
NAMA : WINDI FEBRIANI
NPM : 29213329
KELAS : 2EB24
BAB I
HUKUM PERIKATAN
Ø PENGERTIAN
Perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau
lebih di dalam lapangan harta kekayaan dimana satu pihak mempunyai hak dan
pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Perikatan dapat lahir
dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Sedangkan perjanjian adalah perbuatan
hukum.
Unsur-unsur perikatan:
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
1. Hubungan hukum.
2. Harta kekayaan.
3. Pihak yang berkewajiban dan pihak yang berhak.
4. Prestasi.
Ø DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia
adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi
lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
- Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
- Perikatan yang timbul dari undang-undang
- Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming ) .
Ø ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
- Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
- Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Ø
WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Wanprestasi terjadi apabila salah satu
pihak tersebut (debitur) tidak
melakukan apa yang telah dijanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasi tersebut
tebagi menjadi empat kategori, yaitu :
- Melaksanakan apa yang dijanjikannya ,tetapi tidak menepatinya
- Tidak melakukan apa yang disanggupin akan dilakukannya
- Melakuakn sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
- Melakukan sebuah perjanjian yang telah dijanjikan tetapi terlambat.
Akibat-akibat
dari wasprestasi tersebut berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang
melakukan wanprestasi. Dan dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu:
- Membayar kerugian yang telah diderita oleh kreditur (ganti rugi)
- Pembatalan perjanjian atau bisa disebut juga dengan pemecahan perjanjian, dan
- Peralihan risiko
Ø HAPUSNYA HUKUM PERIKATAN
Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sembilan cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut
adalah:
1. Pembayaran
Pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur
atau guru privat.
2. Konsignasi
Konsignasi
terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh
debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan
jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan.
3. Novasi
Novasi
adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan
sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat
yang asli
4. Kompensasi
Yang
dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur.
5. Konfusio
Konfusio
adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk
sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya
dalam suatu persatuan harta kawin.
Pembebasan utang.
6. Musnahnya barang terutang.
7.
Batal/ pembatalan.
8.
Berlakunya suatu syarat batal.
9.
Dan lewatnya waktu (daluarsa).
BAB
II
HUKUM
PERJANJIAN
Ø PENGERTIAN
Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk
akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain.Atau dapat
juga dikatan hukum perjanjian adalah suatu hukum yang terbentuk akibat
seseorang yang berjanji kepada orang lain untuk melakukan sesuatu hal.Dalam hal
ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia
tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
Ø SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya
suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
- Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai
kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan
perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian yakni:
–
Orang yang belum dewasa.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)
Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat
perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah
menikah dan sehat pikirannya.
(ii)
Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi
pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila
telah mencapai umur 16 tahun.
–
Mereka yang berada di bawah pengampuan.
–
Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan
berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
–
Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Ø SAAT DAN TEMPAT LAHIRNYA PERJANJIAN
Menurut asas
konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau
persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang
menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendaj
antara dua pihak tersebut. Dengan demikian, untuk mengetahui apakah telah
lahirnya suatu perjanjian dan bila perjanjian itu dilahirkan, harus
dipastikan apakah telah tercapai kesepakatan dan bila kesepakatan itu tercapai?
Suatu pernyataan yang diucapkan secara bersendagurau tidak boleh dipeganguntuk
dijadikan dasar bagi suatu perjanjian. Lagi pula, apabila suatu pernyataan yang
nyata-nyata atau mungkin sekali keliru, tidak boleh dianggap sudah terbentuknya
suatu kesepakatan dan dijadikan dasar bagi suatu perjanjian yang mengikat.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai
sebagai pedoman, ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap
melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.
Suatu
perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan, maka perjanjian itu lahir
pada detik diterimanya suatu penawaran (offerte). apabila seseorang
melakukan suatu penawaran dan penawaran itu diterima oleh orang lain
secara tertulis, artinya orang lain menulis surat bahwa ia menerima. Menurut
ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap lahir pada saat
pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang maktub dalam surat
tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap sebagai detik lahirnya
kesepakatan. Saat atau detik lahirnya suatu perjanjian adalah penting untuk
diketahui dan ditetapkan, berhubung adakalanya terjadi suatu perubahan
undang-undangatau peraturan, yang mempengaruhi nasib perjanjian tersebut misalnya pelaksanaannya.
Ø PEMBATALAN DAN PELAKSANAAN PERJANJIAN
Pengertian
pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
·
Pelaksanaan Perjanjian
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan
kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu
mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal
pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian.
Pembayaran dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin
pembayaran lebih dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya
penyerahan barang dulu baru kemudian pembayaran.
BAB III
HUKUM DAGANG
Ø PENGERTIAN
Hukum dagang ialah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan
orang yang satu dengan yang lainnya, khusunya dalam perniagaan.
Hukum dagang
adalah hukum perdata khusus. Pada mulanya kaidah hukum yang kita kenal sebagi
hukum dagang saat ini mulai muncul dikalangan kaum pedagang sekitar abad ke-17.
Kaidah-kaidah hukum tersebut sebenarnya merupakan kebiasaan diantara mereka
yang muncul dalam pergaulan di bidang perdagangan. Ada beberapa hal yang diatur
dalam KUH Perdata diatur juga dalam KUHD. Jika demikian adanya,
ketenutan-ketentuan dalam KUHD itulah yang akan berlaku. KUH Perdata merupakan
lex generalis(hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis (hukum
khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialis
derogat lex generalis (hukum khusus menghapus hukum umum).
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1. Hukum
tertulis yang dikofifikasikan :
a.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia
(W.v.K)
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum
tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang
mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T. Kansil,
1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Ø BERLAKUNYA HUKUM DAGANG
Perkembangan hukum dagang sebenarnya
telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara
dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah
lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia,
Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) . tetapi pada saat itu hokum
Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam
perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hokum Romawi yang berdiri
sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut
hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan
(peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
https://vanezintania.wordpress.com/2011/05/13/pembatalan-dan-pelaksanaan-perjanjian/
http://srirahayu-myblog.blogspot.com/2013/06/hukum-perjanjian.html
http://www.academia.edu/8640235/HUKUM_PERJANJIAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar